Mencintaimu Kembali
(A short story by hyunsanglee3424)
Maafkan aku, karena aku tak pernah menghargaimu sebagaimana mestinya…
Aku masih ingat hari dimana kita dipertemukan untuk pertama kalinya. Saat itu, aku masih kecil, masih terlalu polos untuk memahami segala sebab akibat yang berputar di sekelilingku. Seperti ketika itu, aku senang saja ketika mereka memperkenalkanmu padaku. Aku tahu kau juga merasa bahagia, meskipun tak ada sepatah kata yang keluar darimu. Aku bisa merasakannya.
Hari-hari berikutnya, semua terasa menyenangkan. Seakan aku memiliki matahariku sendiri, dengan dua awan mungil di kanan kirinya, dan satu lengkungan pelangi indah diatasnya. Kita memang tidak bisa bertemu setiap hari, tapi aku sangat menantikan hari itu, hari dimana aku bisa bermain denganmu sepuas hatiku.
Kuakui, aku terpikat padamu, sejak pertama kali aku melihatmu pada waktu itu. Kau tidak pernah tampil berlebihan, selalu dengan gaya khasmu seperti biasa. Namun, itulah daya tarikmu, daya magismu yang menarikku pada pesonamu. Pun sahajamu yang selalu kau tunjukkan ketika kau bersamaku. Sikapmu yang tenang ketika mengajariku tentang sisi keindahan di sekitarku, hal yang selama ini kuanggap sebagai angin lalu yang berhembus melewatiku. Kau mengajariku untuk menangkapnya, memeliharanya, dan melepasnya ketika mereka telah berubah laksana kupu-kupu yang bersayap menawan dengan corak yang indah. Dan kau tidak pernah mengharapkan balasan dariku. Yang kau minta hanyalah agar aku tetap mempercayaimu.
Tapi, matahari tak selamanya bersinar terang, awan tak selamanya putih, dan pelangi tak dapat selamanya melengkungkan tujuh spektrum warnanya. Waktu akan terus berlalu. Jarum tipis bernama detik itu akan terus berjalan, meskipun tak ada daya yang menggerakkannya.
Telah bertahun aku mengenalmu, dan kurasakan perasaan tak biasa di dadaku. Aku tak merasa secerah seperti biasanya saat hari pertemuan kita. Matahari itu telah meredup, awannya telah mendung dan menitikkan gerimis kecil-kecil. Pertemuan denganmu bukanlah hal yang istimewa lagi. Aku tak lagi menangkap, memelihara, dan melepas kupu-kupu itu seperti yang biasa kau ajarkan. Kini aku hanya menangkap kemudian melepaskannya kembali.
Aku tahu kau merasakan perubahan pada diriku, dan itu membuatmu murung, meredupkan ronamu. Aku sendiri bingung mengapa aku bisa seperti ini. Yang kutahu adalah rasa jenuh yang menggelayutiku ketika aku melihatmu. Semakin kau coba memahamiku, semakin aku berontak ingin melepaskan diri.
Hingga suatu hari aku membuat keputusan. Keputusan yang dimenangkan ego dari perdebatannya dengan akal sehatku. Aku memutuskan untuk pergi, mengingkari janjiku sendiri untuk selalu percaya padamu. Aku menghianatimu, dirimu yang terlihat semakin rapuh karena kepergianku.
Kucoba cari penggantimu. Semua yang kutemui terlihat baik, tetapi tetap tidak ada yang sepertimu. Aku terus mencari, tetapi yang kudapatkan hanyalah fatamorgana semu yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Akhirnya aku tiba di sebuah tempat. Tempat yang dipenuhi oleh orang-orang asing yang tidak kukenal. Disana, semua orang terlihat bahagia. Terlihat juga pendamping mereka yang setia menemani serta mengajari mereka berbagai hal, seperti yang kaulakukan padaku dahulu. Dan mereka sama sekali tidak terlihat jenuh. Mereka memiliki mataharinya masing-masing yang bersinar terang.
Pada saat itulah pintu hatiku terbuka. Memori akan dirimu berputar di otakku, dan kurasakan sesal yang luar biasa di hatiku. Aku memiliki dirimu yang sederhana, namun bersahaja dan mempesona. Mengapa justru aku mengingkarinya? Mengingkari suratan yang menuliskan bahwa aku memang harus denganmu?
Butiran bening di pelupuk mataku tak dapat terbendung lagi. Aku bergegas berlari pulang dan berharap kau masih mau menerimaku lagi.
Kulangkahkan kaki di tempat biasanya kau berada, dan dugaanku tepat sasaran. Kulihat dirimu disana, sendirian di tempat yang semakin suram setelah aku pergi. Tanpa berpikir panjang, kuhampiri dirimu yang masih termenung. Kurengkuh dirimu dalam pelukanku, dan kubiarkan air mataku menetes di punggungmu. Perlahan, kubisikkan janjiku kembali, seperti yang kulakukan dahulu.
“Aku berjanji akan terus mempercayaimu. Tetaplah bersamaku, ajari aku segala keindahan yang dulu pernah kau ajarkan padaku. Terima kasih untuk semuanya, dan maafkan atas penghianatanku, gitar spesialku…”
Kuakui, aku terpikat padamu, sejak pertama kali aku melihatmu pada waktu itu. Kau tidak pernah tampil berlebihan, selalu dengan gaya khasmu seperti biasa. Namun, itulah daya tarikmu, daya magismu yang menarikku pada pesonamu. Pun sahajamu yang selalu kau tunjukkan ketika kau bersamaku. Sikapmu yang tenang ketika mengajariku tentang sisi keindahan di sekitarku, hal yang selama ini kuanggap sebagai angin lalu yang berhembus melewatiku. Kau mengajariku untuk menangkapnya, memeliharanya, dan melepasnya ketika mereka telah berubah laksana kupu-kupu yang bersayap menawan dengan corak yang indah. Dan kau tidak pernah mengharapkan balasan dariku. Yang kau minta hanyalah agar aku tetap mempercayaimu.
Tapi, matahari tak selamanya bersinar terang, awan tak selamanya putih, dan pelangi tak dapat selamanya melengkungkan tujuh spektrum warnanya. Waktu akan terus berlalu. Jarum tipis bernama detik itu akan terus berjalan, meskipun tak ada daya yang menggerakkannya.
Telah bertahun aku mengenalmu, dan kurasakan perasaan tak biasa di dadaku. Aku tak merasa secerah seperti biasanya saat hari pertemuan kita. Matahari itu telah meredup, awannya telah mendung dan menitikkan gerimis kecil-kecil. Pertemuan denganmu bukanlah hal yang istimewa lagi. Aku tak lagi menangkap, memelihara, dan melepas kupu-kupu itu seperti yang biasa kau ajarkan. Kini aku hanya menangkap kemudian melepaskannya kembali.
Aku tahu kau merasakan perubahan pada diriku, dan itu membuatmu murung, meredupkan ronamu. Aku sendiri bingung mengapa aku bisa seperti ini. Yang kutahu adalah rasa jenuh yang menggelayutiku ketika aku melihatmu. Semakin kau coba memahamiku, semakin aku berontak ingin melepaskan diri.
Hingga suatu hari aku membuat keputusan. Keputusan yang dimenangkan ego dari perdebatannya dengan akal sehatku. Aku memutuskan untuk pergi, mengingkari janjiku sendiri untuk selalu percaya padamu. Aku menghianatimu, dirimu yang terlihat semakin rapuh karena kepergianku.
Kucoba cari penggantimu. Semua yang kutemui terlihat baik, tetapi tetap tidak ada yang sepertimu. Aku terus mencari, tetapi yang kudapatkan hanyalah fatamorgana semu yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Akhirnya aku tiba di sebuah tempat. Tempat yang dipenuhi oleh orang-orang asing yang tidak kukenal. Disana, semua orang terlihat bahagia. Terlihat juga pendamping mereka yang setia menemani serta mengajari mereka berbagai hal, seperti yang kaulakukan padaku dahulu. Dan mereka sama sekali tidak terlihat jenuh. Mereka memiliki mataharinya masing-masing yang bersinar terang.
Pada saat itulah pintu hatiku terbuka. Memori akan dirimu berputar di otakku, dan kurasakan sesal yang luar biasa di hatiku. Aku memiliki dirimu yang sederhana, namun bersahaja dan mempesona. Mengapa justru aku mengingkarinya? Mengingkari suratan yang menuliskan bahwa aku memang harus denganmu?
Butiran bening di pelupuk mataku tak dapat terbendung lagi. Aku bergegas berlari pulang dan berharap kau masih mau menerimaku lagi.
Kulangkahkan kaki di tempat biasanya kau berada, dan dugaanku tepat sasaran. Kulihat dirimu disana, sendirian di tempat yang semakin suram setelah aku pergi. Tanpa berpikir panjang, kuhampiri dirimu yang masih termenung. Kurengkuh dirimu dalam pelukanku, dan kubiarkan air mataku menetes di punggungmu. Perlahan, kubisikkan janjiku kembali, seperti yang kulakukan dahulu.
“Aku berjanji akan terus mempercayaimu. Tetaplah bersamaku, ajari aku segala keindahan yang dulu pernah kau ajarkan padaku. Terima kasih untuk semuanya, dan maafkan atas penghianatanku, gitar spesialku…”