Author: Luqyana Nadira Rosari Indah Cahyaningtyas Sri Handayani Listyaningtyas Zahirah Tsurayya Mufidah |
Ini adalah hari-hari paling membosankan di bulan Oktober bagi Tania. Udara dingin membuat segala kegiatan terasa berat. Cuaca yang selalu mendung membuat suasana hatinya semakin suram. Tania lebih menyukai musim panas yang cerah karena ia merasa lebih “hidup”. Di musim panas, segalanya terasa ringan bagi Tania, tak seperti saat ini yang membuat kepalanya bak tertindih beban berkilo-kilo.
Musim dingin ini mungkin yang terburuk dalam hidupnya. Pasalnya, ia masih harus bekerja keras demi tugas akhirnya di perguruan tinggi. Di pagi hari yang membosankan ini pula, ia harus melakukan hal paling membosankan di dunia: menunggu. Sudah satu jam lebih Tania menunggu dosen pembimbingnya di lorong lantai dua yang semakin sepi seiring dengan setiap menit yang berlalu, namun dosennya itu belum nampak batang hidungnya.
“Huh, lama sekali! Apakah aku harus menunggu selamanya?” Ia melirik kesal ke arah jam tangannya, dan jarum panjang telah bergerak lagi satu angka dari kali terakhir ia melihatnya.
Tepat setelah itu, nampaklah dua sosok yang berderap masuk menyusuri lorong lantai dua. Langkah kaki mereka terdengar jelas di telinga Tania sehingga ia menoleh dan mendapatinya melihat dua sosok tersebut. Napasnya seketika kian memburu, kedua tangannya mencengkram erat kursi yang sedang ia duduki, tatapan matanya yang tajam tertuju pada kedua sosok yang semakin mendekat ke arahnya.
“Maaf, sepertinya saya terlambat,” kata seseorang dengan suara berat.
Tania langsung melonggarkan cengkramannya dan mengatur emosi, lalu mulai berbicara sesopan mungkin, “Tak apa, Mr. Ben. Bisa kita mulai sekarang?”
“Tentu saja, Tapi sebelumnya, biar kuperkenalkan kau dengan seseorang yang datang bersamaku ini. Namanya Arsen, dia lulusan terbaik tiga tahun lalu. Hebatnya lagi, saat ini dia memegang jabatan manajer di Mark Enterprise. Walaupun kedengarannya dia orang sibuk, tapi sebenarnya dia masih memiliki waktu senggang di waktu sore seperti ini. Yah, walaupun tidak setiap hari. Meng—“
“Ehm, maaf memotong pembicaraanmu, Mr.Ben, tapi kurasa sudah cukup deskripsi tentang diriku kepadanya.” Sebenarnya Arsen merasa tidak sopan kepada Mr. Ben. Namun, Arsen melontarkan kata-kata itu karena ia tak terlalu suka pujian dan ia juga menangkap ekspresi jengkel serta bosan dari raut wajah perempuan yang ada di depannya itu.
“Haha, kau selalu saja ingin merendah, Nak. Kurasa tak ada salahnya jika Tania mengetahui banyak tentang dirimu. Itu bisa menjadi inspirasi dan motivasi buatnya.” Arsen tak membalas perkataan Mr.Ben barusan. Ia hanya tersenyum canggung kepada Mr.Ben. Ia merasa bahwa Mr.Ben terlalu berlebihan. Beliau selalu saja mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang sangat hebat dan seolah-olah seluruh dunia harus tahu itu.
Tania pun angkat bicara. “Baiklah. Terimakasih telah memperkenalkanku dengan orang hebat, Mr.Ben. Jadi ... Arsen, kenalkan, namaku Tania. Kalau boleh tahu, apa keperluan Anda datang kemari?” Basa-basi yang cukup payah, begitulah Tania merutuki dirinya sendiri tepat setelah ia melontarkan kata-kata itu.
“Salam kenal, Tania. Aku menerima tawaran Mr. Ben untuk menjadi tutor bagi mahasiswa tingkat akhir, khususnya di bidang ekonomika dan bisnis. Jadi, selama satu bulan ke depan, akulah tutormu.”
“Apa itu artinya Mr. Ben tidak bisa menjadi dosen pembimbingku?” tanya Tania, lebih keras daripada yang ia niatkan.
“Bukan seperti itu, Tania. Saya masih dosen pembimbingmu. Hanya saja, saya tidak bisa menjadwalkan pertemuan yang intensif. Kau tahu, akhir-akhir ini banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Jadi, selama satu bulan ke depan, mungkin kita bisa membuat pertemuan selama enam kali. Selebihnya, terserah kau dan tutor barumu, Arsen.”
Tania terlihat tak terlalu peduli dengan apa yang diterangkan dosennya. Ia bahkan tak peduli dengan kehadiran Arsen, padahal laki-laki seperti Arsen seharusnya bisa menarik perhatian gadis seusia Tania. Tutor atau dosen pembimbing baginya sama saja, yang ia pedulikan hanyalah tugas akhirnya ini cepat tuntas dan ia bisa pergi berlibur.
Pertemuan mereka berlangsung sekitar dua jam. Sedari tadi, Tania merasa kepalanya berputar-putar yang menyebabkannya sulit berkonsentrasi saat menerima pelajaran Mr. Ben. Mungkin udara dingin adalah penyebabnya. Tania berusaha untuk tetap tenang dan fokus, meskipun ia sangat cemas akan kondisinya yang kian aneh selama musim dingin.
Entah karena alasan apa, musim dingin selalu membuat Tania tertekan dan pikirannya terganggu seperti ada sejuta hal yang sedang ia pikirkan secara bersamaan. Ia sering merasa pusing dan mudah lelah, padahal di luar musim dingin, Tania adalah pribadi yang periang dan selalu bersemangat dalam segala hal. Semua dokter yang pernah dikunjungi Tania selalu mengatakan bahwa Tania baik-baik saja dan hanya menyuruhnya untuk banyak beristirahat, tapi itu belum juga memberikan efek baik.
Usai memberikan nomor ponselnya kepada Arsen, Tania berpamitan dengan tergesa-gesa dan langsung meninggalkan kampus menuju apartemennya. Begitu ia tiba di kamar, Tania langsung mendarat di atas tempat tidur tanpa ada yang bisa mencegahnya. Apartemen selalu menolongnya saat udara dingin di luar menusuk pembuluh darah Tania. Kelopak mata Tania mulai tertarik untuk menutup, dan tak lama kemudian ia tertidur.
Saat Tania menyadari dirinya terbangun, ia sudah berada dalam posisi duduk tegak di tempat tidurnya. Tania berusaha mengingat-ingat apa mimpi yang baru saja ia dapatkan, tapi itu hanya membuat pikirannya menjadi keruh dan kepalanya mulai pusing lagi. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore. Tania beranjak dari tempat tidurnya dan mulai menyalakan lampu.
Musim dingin ini mungkin yang terburuk dalam hidupnya. Pasalnya, ia masih harus bekerja keras demi tugas akhirnya di perguruan tinggi. Di pagi hari yang membosankan ini pula, ia harus melakukan hal paling membosankan di dunia: menunggu. Sudah satu jam lebih Tania menunggu dosen pembimbingnya di lorong lantai dua yang semakin sepi seiring dengan setiap menit yang berlalu, namun dosennya itu belum nampak batang hidungnya.
“Huh, lama sekali! Apakah aku harus menunggu selamanya?” Ia melirik kesal ke arah jam tangannya, dan jarum panjang telah bergerak lagi satu angka dari kali terakhir ia melihatnya.
Tepat setelah itu, nampaklah dua sosok yang berderap masuk menyusuri lorong lantai dua. Langkah kaki mereka terdengar jelas di telinga Tania sehingga ia menoleh dan mendapatinya melihat dua sosok tersebut. Napasnya seketika kian memburu, kedua tangannya mencengkram erat kursi yang sedang ia duduki, tatapan matanya yang tajam tertuju pada kedua sosok yang semakin mendekat ke arahnya.
“Maaf, sepertinya saya terlambat,” kata seseorang dengan suara berat.
Tania langsung melonggarkan cengkramannya dan mengatur emosi, lalu mulai berbicara sesopan mungkin, “Tak apa, Mr. Ben. Bisa kita mulai sekarang?”
“Tentu saja, Tapi sebelumnya, biar kuperkenalkan kau dengan seseorang yang datang bersamaku ini. Namanya Arsen, dia lulusan terbaik tiga tahun lalu. Hebatnya lagi, saat ini dia memegang jabatan manajer di Mark Enterprise. Walaupun kedengarannya dia orang sibuk, tapi sebenarnya dia masih memiliki waktu senggang di waktu sore seperti ini. Yah, walaupun tidak setiap hari. Meng—“
“Ehm, maaf memotong pembicaraanmu, Mr.Ben, tapi kurasa sudah cukup deskripsi tentang diriku kepadanya.” Sebenarnya Arsen merasa tidak sopan kepada Mr. Ben. Namun, Arsen melontarkan kata-kata itu karena ia tak terlalu suka pujian dan ia juga menangkap ekspresi jengkel serta bosan dari raut wajah perempuan yang ada di depannya itu.
“Haha, kau selalu saja ingin merendah, Nak. Kurasa tak ada salahnya jika Tania mengetahui banyak tentang dirimu. Itu bisa menjadi inspirasi dan motivasi buatnya.” Arsen tak membalas perkataan Mr.Ben barusan. Ia hanya tersenyum canggung kepada Mr.Ben. Ia merasa bahwa Mr.Ben terlalu berlebihan. Beliau selalu saja mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang sangat hebat dan seolah-olah seluruh dunia harus tahu itu.
Tania pun angkat bicara. “Baiklah. Terimakasih telah memperkenalkanku dengan orang hebat, Mr.Ben. Jadi ... Arsen, kenalkan, namaku Tania. Kalau boleh tahu, apa keperluan Anda datang kemari?” Basa-basi yang cukup payah, begitulah Tania merutuki dirinya sendiri tepat setelah ia melontarkan kata-kata itu.
“Salam kenal, Tania. Aku menerima tawaran Mr. Ben untuk menjadi tutor bagi mahasiswa tingkat akhir, khususnya di bidang ekonomika dan bisnis. Jadi, selama satu bulan ke depan, akulah tutormu.”
“Apa itu artinya Mr. Ben tidak bisa menjadi dosen pembimbingku?” tanya Tania, lebih keras daripada yang ia niatkan.
“Bukan seperti itu, Tania. Saya masih dosen pembimbingmu. Hanya saja, saya tidak bisa menjadwalkan pertemuan yang intensif. Kau tahu, akhir-akhir ini banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Jadi, selama satu bulan ke depan, mungkin kita bisa membuat pertemuan selama enam kali. Selebihnya, terserah kau dan tutor barumu, Arsen.”
Tania terlihat tak terlalu peduli dengan apa yang diterangkan dosennya. Ia bahkan tak peduli dengan kehadiran Arsen, padahal laki-laki seperti Arsen seharusnya bisa menarik perhatian gadis seusia Tania. Tutor atau dosen pembimbing baginya sama saja, yang ia pedulikan hanyalah tugas akhirnya ini cepat tuntas dan ia bisa pergi berlibur.
Pertemuan mereka berlangsung sekitar dua jam. Sedari tadi, Tania merasa kepalanya berputar-putar yang menyebabkannya sulit berkonsentrasi saat menerima pelajaran Mr. Ben. Mungkin udara dingin adalah penyebabnya. Tania berusaha untuk tetap tenang dan fokus, meskipun ia sangat cemas akan kondisinya yang kian aneh selama musim dingin.
Entah karena alasan apa, musim dingin selalu membuat Tania tertekan dan pikirannya terganggu seperti ada sejuta hal yang sedang ia pikirkan secara bersamaan. Ia sering merasa pusing dan mudah lelah, padahal di luar musim dingin, Tania adalah pribadi yang periang dan selalu bersemangat dalam segala hal. Semua dokter yang pernah dikunjungi Tania selalu mengatakan bahwa Tania baik-baik saja dan hanya menyuruhnya untuk banyak beristirahat, tapi itu belum juga memberikan efek baik.
Usai memberikan nomor ponselnya kepada Arsen, Tania berpamitan dengan tergesa-gesa dan langsung meninggalkan kampus menuju apartemennya. Begitu ia tiba di kamar, Tania langsung mendarat di atas tempat tidur tanpa ada yang bisa mencegahnya. Apartemen selalu menolongnya saat udara dingin di luar menusuk pembuluh darah Tania. Kelopak mata Tania mulai tertarik untuk menutup, dan tak lama kemudian ia tertidur.
Saat Tania menyadari dirinya terbangun, ia sudah berada dalam posisi duduk tegak di tempat tidurnya. Tania berusaha mengingat-ingat apa mimpi yang baru saja ia dapatkan, tapi itu hanya membuat pikirannya menjadi keruh dan kepalanya mulai pusing lagi. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore. Tania beranjak dari tempat tidurnya dan mulai menyalakan lampu.
****
Untungnya, hari-hari yang sangat menyiksa Tania ini cepat berlalu. Pertemuan dengan dosen dan tutornya sejauh ini berlangsung lancar, walaupun rasa bosan dan kantuk selalu menghampiri. Bukan karena materi yang disampaikan, tapi karena pujian-pujian Mr. Ben terhadap Arsen yang hampir setiap menit dilontarkan.
Satu hari telah usai. Tidak terasa sudah hari terakhir pertemuannya dengan Mr.Ben, untuk selanjutnya akan dilanjutkan bimbingan dengan sang tutor, Arsen. Setelah menengok jam tangannya, Tania pun segera berpamitan kepada Mr.Ben dan Arsen. Tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sampai di kamar apartemen, Tania langsung membaringkan tubuhnya. Angin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil, Tania menyelimuti tubuhnya dengan selimut Teddy Bear kesayangannya. Lama waktu berlalu mulai mengantarkan Tania menuju mimpi indahnya, tapi mungkin lebih tepat sebaliknya.
Dalam mimpinya, Tania terjun melalui lorong waktu dan kemudian ia jatuh di sebuah ruangan. Sekarang ia berada di sebuah ruangan kosong dan seluruhnya berwarna putih. Gadis itu berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu sambil meraba-raba dinding ruangan. Ruangan tersebut terasa sangat dingin, sehingga membuat tangan Tania gemetar.
Tanpa diduga dan hampir tak terasa, sesuatu yang dingin membasahi rambut cokelat Tania, seperti tetesan air hujan yang mengalir dari atas. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke atas, dan betapa terkejutnya Tania karena tetesan yang ia kira air hujan ternyata adalah tetesan darah. Tania pun berlari menjauh, namun dia tidak menemukan satupun pintu keluar. Tiba-tiba, sudut mata Tania menangkap sekelebat bayangan yang melintas di atap ruangan. Tak ada siapapun di sana, kecuali Tania. Tak ada suara apapun di sana, kecuali suara jantung Tania yang berdebar-debar. Tania berusaha tenang dan fokus, lalu memejamkan mata. Kemudian, ia sudah berada di tempat lain.
Tania mendapati di depannya terdapat sebuah lemari kayu. Sebuah suara dalam kepalanya berkata: Jangan dibuka. Menjauhlah dari sini. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya, Tania membuka lemari tersebut. Lemari itu berisi berbagai jenis pisau dan pedang, dari ukuran terkecil sekitar 15 sentimeter hingga yang berukuran setengah meter. Dengan kening berkerut, Tania menutup lemari itu dan berbalik badan.
Gadis itu hampir saja terjatuh saking kagetnya. Sosok yang sepenuhya berpakaian hitam berdiri tepat di hadapan Tania. Sepasang mata kelabu yang tak tertutupi topeng wajah menyorot tepat ke arah gadis di depannya. Jangan katakan pada siapapun, atau rasakan akibatnya. Tania terbangun dengan suara dalam mimpinya masih terus berdenging di telinganya.
Satu hari telah usai. Tidak terasa sudah hari terakhir pertemuannya dengan Mr.Ben, untuk selanjutnya akan dilanjutkan bimbingan dengan sang tutor, Arsen. Setelah menengok jam tangannya, Tania pun segera berpamitan kepada Mr.Ben dan Arsen. Tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, sampai di kamar apartemen, Tania langsung membaringkan tubuhnya. Angin dari pendingin ruangan membuat tubuhnya menggigil, Tania menyelimuti tubuhnya dengan selimut Teddy Bear kesayangannya. Lama waktu berlalu mulai mengantarkan Tania menuju mimpi indahnya, tapi mungkin lebih tepat sebaliknya.
Dalam mimpinya, Tania terjun melalui lorong waktu dan kemudian ia jatuh di sebuah ruangan. Sekarang ia berada di sebuah ruangan kosong dan seluruhnya berwarna putih. Gadis itu berjalan perlahan mengelilingi ruangan itu sambil meraba-raba dinding ruangan. Ruangan tersebut terasa sangat dingin, sehingga membuat tangan Tania gemetar.
Tanpa diduga dan hampir tak terasa, sesuatu yang dingin membasahi rambut cokelat Tania, seperti tetesan air hujan yang mengalir dari atas. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke atas, dan betapa terkejutnya Tania karena tetesan yang ia kira air hujan ternyata adalah tetesan darah. Tania pun berlari menjauh, namun dia tidak menemukan satupun pintu keluar. Tiba-tiba, sudut mata Tania menangkap sekelebat bayangan yang melintas di atap ruangan. Tak ada siapapun di sana, kecuali Tania. Tak ada suara apapun di sana, kecuali suara jantung Tania yang berdebar-debar. Tania berusaha tenang dan fokus, lalu memejamkan mata. Kemudian, ia sudah berada di tempat lain.
Tania mendapati di depannya terdapat sebuah lemari kayu. Sebuah suara dalam kepalanya berkata: Jangan dibuka. Menjauhlah dari sini. Namun, rasa penasaran mengalahkan segalanya, Tania membuka lemari tersebut. Lemari itu berisi berbagai jenis pisau dan pedang, dari ukuran terkecil sekitar 15 sentimeter hingga yang berukuran setengah meter. Dengan kening berkerut, Tania menutup lemari itu dan berbalik badan.
Gadis itu hampir saja terjatuh saking kagetnya. Sosok yang sepenuhya berpakaian hitam berdiri tepat di hadapan Tania. Sepasang mata kelabu yang tak tertutupi topeng wajah menyorot tepat ke arah gadis di depannya. Jangan katakan pada siapapun, atau rasakan akibatnya. Tania terbangun dengan suara dalam mimpinya masih terus berdenging di telinganya.
****
Sebisa mungkin Tania menjalani hari-harinya secara normal. Ia tak ingin apapun menggangu konsentrasinya dalam menyelesaikan tugas akhir.
“Kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat dan kelelahan,” kata Arsen. Jarang sekali laki-laki itu mengajak murid bimbingannya itu berbicara apalagi menanyakan keadaannya.
“Tak apa, aku baik,” jawab Tania, “mungkin sebaiknya aku pulang sekarang sebelum hari mulai gelap.”
“Banyaklah istirahat, jaga kondisimu,” kata Arsen dengan senyum datar khasnya. Tania hanya memberikan senyum terpaksa dan berlalu pergi. Jika gadis lain yang diajak bicara oleh Arsen, pasti hatinya akan langsung berbunga-bunga, sedangkan bagi Tania kata-kata itu bahkan tak sedikitpun membuat kondisinya tambah baik. Terlalu banyak yang berkecamuk di pikirannya.
“Kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat dan kelelahan,” kata Arsen. Jarang sekali laki-laki itu mengajak murid bimbingannya itu berbicara apalagi menanyakan keadaannya.
“Tak apa, aku baik,” jawab Tania, “mungkin sebaiknya aku pulang sekarang sebelum hari mulai gelap.”
“Banyaklah istirahat, jaga kondisimu,” kata Arsen dengan senyum datar khasnya. Tania hanya memberikan senyum terpaksa dan berlalu pergi. Jika gadis lain yang diajak bicara oleh Arsen, pasti hatinya akan langsung berbunga-bunga, sedangkan bagi Tania kata-kata itu bahkan tak sedikitpun membuat kondisinya tambah baik. Terlalu banyak yang berkecamuk di pikirannya.
****
Kali ini, mimpi Tania tak begitu jelas. Ia hanya melihat Arsen dan Mr. Ben berjalan bersama di koridor kampus. Kemudian, mimpi itu berjalan seperti cuplikan foto-foto yang memperlihatkan lemari kayu berisi senjata, tetesan darah di ruangan putih, dan sosok berpakaian serba hitam ditambah suara teriakan yang terus menggema.
Tania bangun dan tersengal-sengal seperti ia telah menahan nafas sedari tadi. Sambil berusaha tenang dan memfokuskan pandangannya, Tania mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari kepalanya. Ia meyakinkan dirinya sendiri: Tidak mungkin, itu tidak mungkin. Kepingan-kepingan mozaik mulai tersusun dalam kepala Tania, membentuk sesuatu yang tak ingin ia akui kebenarannya. Meskipun ia berusaha tak memercayainya, dalam hatinya meyakini bahwa instingnya selalu benar. Sesuatu yang buruk akan terjadi.
Hari itu, Tania membatalkan seluruh acaranya, termasuk pertemuannya dengan Arsen. Ia benar-benar tak bersemangat untuk keluar dari apartemennya. Tugas akhir juga tak disentuh Tania sedikitpun. Ia terus menerus memikirkan mimpinya dan apa yang sebenarnya sedang atau akan terjadi.
Daftar hal-aneh-selama-musim-dingin dalam hidup Tania bertambah. Mimpi-mimpi aneh itu salah satunya. Tania berusaha untuk berpikir positif bahwa mimpi-mimpi itu sekadar mimpi biasa dan hanya bagian dari keanehan musim dingin, tapi mimpi itu sering datang bagaikan teror. Selain mimpi, hal aneh lainnya adalah insting Tania yang semakin tajam.
Pernah suatu kali, Tania tiba-tiba mengubah keputusannya untuk tidak mengikuti acara makan malam dengan teman-temannya, dan benar saja keputusannya. Rumah makan yang didatangi teman-temannya itu terbakar. Kendati tak memakan korban jiwa, Tania tetap merasa benar dengan keputusannya. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi itu bukanlah kejadian satu-satunya, dan tak ada kejadian serupa yang menimpa Tania di luar musim dingin.
Tania bangun dan tersengal-sengal seperti ia telah menahan nafas sedari tadi. Sambil berusaha tenang dan memfokuskan pandangannya, Tania mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari kepalanya. Ia meyakinkan dirinya sendiri: Tidak mungkin, itu tidak mungkin. Kepingan-kepingan mozaik mulai tersusun dalam kepala Tania, membentuk sesuatu yang tak ingin ia akui kebenarannya. Meskipun ia berusaha tak memercayainya, dalam hatinya meyakini bahwa instingnya selalu benar. Sesuatu yang buruk akan terjadi.
Hari itu, Tania membatalkan seluruh acaranya, termasuk pertemuannya dengan Arsen. Ia benar-benar tak bersemangat untuk keluar dari apartemennya. Tugas akhir juga tak disentuh Tania sedikitpun. Ia terus menerus memikirkan mimpinya dan apa yang sebenarnya sedang atau akan terjadi.
Daftar hal-aneh-selama-musim-dingin dalam hidup Tania bertambah. Mimpi-mimpi aneh itu salah satunya. Tania berusaha untuk berpikir positif bahwa mimpi-mimpi itu sekadar mimpi biasa dan hanya bagian dari keanehan musim dingin, tapi mimpi itu sering datang bagaikan teror. Selain mimpi, hal aneh lainnya adalah insting Tania yang semakin tajam.
Pernah suatu kali, Tania tiba-tiba mengubah keputusannya untuk tidak mengikuti acara makan malam dengan teman-temannya, dan benar saja keputusannya. Rumah makan yang didatangi teman-temannya itu terbakar. Kendati tak memakan korban jiwa, Tania tetap merasa benar dengan keputusannya. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi itu bukanlah kejadian satu-satunya, dan tak ada kejadian serupa yang menimpa Tania di luar musim dingin.
***
Sudah sekitar tiga minggu berlalu sejak kali terakhir pertemuan Tania dengan Mr. Ben. Tania ingin menanyakan beberapa istilah dalam tugas akhirnya yang tak ia mengerti kepada Mr. Ben. Ia sama sekali tak berniat untuk bertanya pada Arsen, lagipula sudah beberapa hari ini Tania mengurungkan pertemuan dengan tutornya itu. Tania mulai mengetik dan mengirim pesan singkat kepada Mr. Ben.
Belum juga ada balasan dari Mr. Ben. Insting kembali menyuruh Tania melakukan sesuatu. Ia menelpon Mr. Ben, dan berharap ia tak menyesal nantinya.
Halo? Ada yang bisa saya bantu?” suara lembut seorang gadis di ujung telepon.
“Rosie? Bisakah aku berbicara dengan ayahmu?” tanya Tania kepada gadis bernama Rosie itu. Sudah jelas, ia adalah putri Mr. Ben.
Siapa ini?” suaranya terdengar sangat jauh.
“Aku adalah murid ayahmu, Tania”
Oh, mungkin kau belum tahu. Ayahku―” suaranya tercekat, “ia sudah tiada. Ia ditikam oleh ... entah siapa saat dia akan pergi ke sebuah toko. Jenazahnya ditemukan keesokan paginya di sebuah gang sempit.”
Anehnya, Tania tak terlalu terkejut mendengar hal itu. Begitu ia menutup telepon, perasaannya justru disesaki kemarahan sekaligus rasa takut. Apa yang selama ini ia takutkan benar-benar terjadi dan semua itu membuatnya marah, entah kepada siapa.
Tania memejamkan matanya sejenak, kemudian menghembuskan napasnya keras-keras. Ia telah memantapkan hati. Ini harus diakhiri sekarang, begitu pikirnya. Ia kemudian meraih teleponnya kembali dan menekan beberapa angka.
“Halo, Arsen. Bisa kita bertemu sekarang?”
Belum juga ada balasan dari Mr. Ben. Insting kembali menyuruh Tania melakukan sesuatu. Ia menelpon Mr. Ben, dan berharap ia tak menyesal nantinya.
Halo? Ada yang bisa saya bantu?” suara lembut seorang gadis di ujung telepon.
“Rosie? Bisakah aku berbicara dengan ayahmu?” tanya Tania kepada gadis bernama Rosie itu. Sudah jelas, ia adalah putri Mr. Ben.
Siapa ini?” suaranya terdengar sangat jauh.
“Aku adalah murid ayahmu, Tania”
Oh, mungkin kau belum tahu. Ayahku―” suaranya tercekat, “ia sudah tiada. Ia ditikam oleh ... entah siapa saat dia akan pergi ke sebuah toko. Jenazahnya ditemukan keesokan paginya di sebuah gang sempit.”
Anehnya, Tania tak terlalu terkejut mendengar hal itu. Begitu ia menutup telepon, perasaannya justru disesaki kemarahan sekaligus rasa takut. Apa yang selama ini ia takutkan benar-benar terjadi dan semua itu membuatnya marah, entah kepada siapa.
Tania memejamkan matanya sejenak, kemudian menghembuskan napasnya keras-keras. Ia telah memantapkan hati. Ini harus diakhiri sekarang, begitu pikirnya. Ia kemudian meraih teleponnya kembali dan menekan beberapa angka.
“Halo, Arsen. Bisa kita bertemu sekarang?”
****
Lorong lantai dua itu sesepi ketika Tania bertemu pertama kalinya dengan Arsen. Namun, kali ini ada aura berbeda yang ia rasakan. Meskipu begitu, ia tidak peduli. Ia tidak mau lari lagi.
“Ada keperluan apa? Apakah ini tentang tugas akhirmu?” tiba-tiba Arsen muncul di depan Tania, dan itu sedikit membuat gadis itu terkejut.
“Apakah kau tahu jika Mr. Ben meninggal?” Tania balik bertanya dan mengabaikan pertanyaan Arsen sebelumnya.
“Tahu,” jawab Arsen. Tania menunggu jawaban selanjutnya, entah itu ungkapan rasa belasungkawa atau apapun. Namun, lelaki itu nampak tak ingin berbicara lagi, tetap acuh seperti biasa.
Di luar sangat dingin, bukan? Dinginnya bahkan bisa membekukan buku-buku tanganku hingga rasanya ingin pecah. Tapi, dibanding dengan dinginnya udara di luar, ternyata ada hati seseorang yang lebih dingin membeku.” Tania menatap mata Arsen tajam.
“Apa maksudmu?”
“Aku tahu kaulah yang membunuh Mr. Ben!” Tania sudah tidak bisa menahannya lagi. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan meraih kerah baju Arsen yang tetap tak bergeming. Ia justru menatap Tania sambil tersenyum sinis.
“Apa ini semua karena mimpi-mimpimu itu, huh?”
Tania terkejut dengan pernyataan Arsen barusan. Ia melonggarkan cengkramannya.
Apa yang kau ketahui tentang mimpi-mimpiku?”
“Mimpi buruk yang berulang kali menghantuimu di setiap tidurmu. Mimpi yang seakan sangat nyata bagimu.”
“Ba—Bagaimana kau tahu?” Tania benar-benar syok. Ia mundur selangkah.
“Karena itu bukanlah mimpi, Tania. Kau adalah seorang Alter Ego.”
Tania tahu arti kata itu. Alter Ego. Kepribadian ganda.
“Kau dulu pernah berkonsultasi ke seorang psikolog, bukan? Menceritakan semua mimpimu, dan betapa semua itu sangat mengganggumu. Asal kau tahu, ia kemudian menghilang sehari setelah bertemu denganmu,” Arsen mengambil jeda sejenak, “Ia adalah temanku, dan aku bertekad untuk mencari tahu apa sebabnya ia menghilang.”
Tania tidak terlalu memperhatikan cerita Arsen. Fakta bahwa dirinya seorang yang memiliki kepribadian ganda belum bisa benar-benar diterima akalnya.
“Maka dari itu, ketika aku ditawari untuk menjadi tutormu, aku menerimanya. Aku ingin membuktikan apakah dugaanku salah. Namun, sebelum semua terbongkar, kau sudah berulah lagi.”
Tania terkejut. “Apa kau menuduhku bahwa akulah yang membunuh temanmu? Dan sekarang kau juga menuduhku bahwa aku yang membunuh Mr. Ben?!”
“Tidak, setidaknya belum.” Arsen menatap Tania dengan tatapan yang dingin. Kemudian, Ia menarik tangan gadis itu dan membawanya pergi menuju ke luar kampus.
Kau mau membawaku kemana? Apa kau ingin menyeretku ke polisi, dan menahanku dengan dugaan-dugaanmu yang tak berdasar itu?”
Arsen tidak menjawab dan melepaskan tangan Tania, menyuruh gadis itu berjalan di depannya. Mereka menuju tempat parkir kampus yang saat itu hanya terdapat sebuah mobil berwarna perak metalik.
Apakah ini mobilmu?” Tania menengok ke balik bahunya dan bertanya kepada Arsen, tapi lelaki itu sudah tidak ada di belakang Tania. Kedua mata Tania memindai seluruh lokasi parkir untuk mencari sosoknya, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan dirinya.
Tania memutuskan untuk menghampiri mobil itu. Pada saat yang sama, perasaan itu datang kembali, perasaan tentang instingnya yang sangat kuat hingga terasa menekan ulu hatinya.
Detik berikutnya semua terjadi begitu cepat. Sebuah logam pipih panjang berujung runcing terasa dingin menembus perut Tania. Perlu waktu sejenak hingga seluruh tubuh Tania mendadak mati rasa. Akhirnya kakinya sudah tak mampu menahan beban tubuhnya lagi. Lututnya kemudian menghantam tanah dengan keras.
Sebelum benar-benar ambruk, seklebat bayangan tampak olehnya. Bayangan itu semakin nampak sebagai sesosok dengan pakaian hitam. Seperti deja vu, Tania menatap mata sosok yang semakin mendekat ke arahnya itu. Mata kelabu yang sudah tidak asing baginya dengan topeng yang menutup hampir seluruh wajahnya.
"K—Kau... Ar—Ar...”
“Ssst, jangan banyak bicara.” Sosok itu ikut bersimpuh disamping Tania. Ia melepas topengnya. Tania, dengan pandangan yang semakin meredup, masih dapat mengenali wajah sosok itu.
Orang itu kemudian menyangga kepala Tania, wajahnya lalu mendekat ke telinga Tania.
“Maafkan aku, Tania, tadi aku harus sedikit... bermain peran. Ya, kau benar, hatiku memang sudah terlanjur membeku. Kukira akan ada yang bisa mencairkannya, tapi ternyata aku salah.”
Kelopak mata Tania akhirnya telah menutup dengan sempurna. Orang itu kemudian menggenggam pisau yang masih tertanam di perut Tania dan mencabutnya perlahan. Ujungnya berlumuran cairan merah, namun masih dapat memantulkan bayangan sepasang mata kelabu yang berkilat-kilat diterpa temaram sinar rembulan.
“Ada keperluan apa? Apakah ini tentang tugas akhirmu?” tiba-tiba Arsen muncul di depan Tania, dan itu sedikit membuat gadis itu terkejut.
“Apakah kau tahu jika Mr. Ben meninggal?” Tania balik bertanya dan mengabaikan pertanyaan Arsen sebelumnya.
“Tahu,” jawab Arsen. Tania menunggu jawaban selanjutnya, entah itu ungkapan rasa belasungkawa atau apapun. Namun, lelaki itu nampak tak ingin berbicara lagi, tetap acuh seperti biasa.
Di luar sangat dingin, bukan? Dinginnya bahkan bisa membekukan buku-buku tanganku hingga rasanya ingin pecah. Tapi, dibanding dengan dinginnya udara di luar, ternyata ada hati seseorang yang lebih dingin membeku.” Tania menatap mata Arsen tajam.
“Apa maksudmu?”
“Aku tahu kaulah yang membunuh Mr. Ben!” Tania sudah tidak bisa menahannya lagi. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan meraih kerah baju Arsen yang tetap tak bergeming. Ia justru menatap Tania sambil tersenyum sinis.
“Apa ini semua karena mimpi-mimpimu itu, huh?”
Tania terkejut dengan pernyataan Arsen barusan. Ia melonggarkan cengkramannya.
Apa yang kau ketahui tentang mimpi-mimpiku?”
“Mimpi buruk yang berulang kali menghantuimu di setiap tidurmu. Mimpi yang seakan sangat nyata bagimu.”
“Ba—Bagaimana kau tahu?” Tania benar-benar syok. Ia mundur selangkah.
“Karena itu bukanlah mimpi, Tania. Kau adalah seorang Alter Ego.”
Tania tahu arti kata itu. Alter Ego. Kepribadian ganda.
“Kau dulu pernah berkonsultasi ke seorang psikolog, bukan? Menceritakan semua mimpimu, dan betapa semua itu sangat mengganggumu. Asal kau tahu, ia kemudian menghilang sehari setelah bertemu denganmu,” Arsen mengambil jeda sejenak, “Ia adalah temanku, dan aku bertekad untuk mencari tahu apa sebabnya ia menghilang.”
Tania tidak terlalu memperhatikan cerita Arsen. Fakta bahwa dirinya seorang yang memiliki kepribadian ganda belum bisa benar-benar diterima akalnya.
“Maka dari itu, ketika aku ditawari untuk menjadi tutormu, aku menerimanya. Aku ingin membuktikan apakah dugaanku salah. Namun, sebelum semua terbongkar, kau sudah berulah lagi.”
Tania terkejut. “Apa kau menuduhku bahwa akulah yang membunuh temanmu? Dan sekarang kau juga menuduhku bahwa aku yang membunuh Mr. Ben?!”
“Tidak, setidaknya belum.” Arsen menatap Tania dengan tatapan yang dingin. Kemudian, Ia menarik tangan gadis itu dan membawanya pergi menuju ke luar kampus.
Kau mau membawaku kemana? Apa kau ingin menyeretku ke polisi, dan menahanku dengan dugaan-dugaanmu yang tak berdasar itu?”
Arsen tidak menjawab dan melepaskan tangan Tania, menyuruh gadis itu berjalan di depannya. Mereka menuju tempat parkir kampus yang saat itu hanya terdapat sebuah mobil berwarna perak metalik.
Apakah ini mobilmu?” Tania menengok ke balik bahunya dan bertanya kepada Arsen, tapi lelaki itu sudah tidak ada di belakang Tania. Kedua mata Tania memindai seluruh lokasi parkir untuk mencari sosoknya, tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan dirinya.
Tania memutuskan untuk menghampiri mobil itu. Pada saat yang sama, perasaan itu datang kembali, perasaan tentang instingnya yang sangat kuat hingga terasa menekan ulu hatinya.
Detik berikutnya semua terjadi begitu cepat. Sebuah logam pipih panjang berujung runcing terasa dingin menembus perut Tania. Perlu waktu sejenak hingga seluruh tubuh Tania mendadak mati rasa. Akhirnya kakinya sudah tak mampu menahan beban tubuhnya lagi. Lututnya kemudian menghantam tanah dengan keras.
Sebelum benar-benar ambruk, seklebat bayangan tampak olehnya. Bayangan itu semakin nampak sebagai sesosok dengan pakaian hitam. Seperti deja vu, Tania menatap mata sosok yang semakin mendekat ke arahnya itu. Mata kelabu yang sudah tidak asing baginya dengan topeng yang menutup hampir seluruh wajahnya.
"K—Kau... Ar—Ar...”
“Ssst, jangan banyak bicara.” Sosok itu ikut bersimpuh disamping Tania. Ia melepas topengnya. Tania, dengan pandangan yang semakin meredup, masih dapat mengenali wajah sosok itu.
Orang itu kemudian menyangga kepala Tania, wajahnya lalu mendekat ke telinga Tania.
“Maafkan aku, Tania, tadi aku harus sedikit... bermain peran. Ya, kau benar, hatiku memang sudah terlanjur membeku. Kukira akan ada yang bisa mencairkannya, tapi ternyata aku salah.”
Kelopak mata Tania akhirnya telah menutup dengan sempurna. Orang itu kemudian menggenggam pisau yang masih tertanam di perut Tania dan mencabutnya perlahan. Ujungnya berlumuran cairan merah, namun masih dapat memantulkan bayangan sepasang mata kelabu yang berkilat-kilat diterpa temaram sinar rembulan.
***THE END***